FATIMAH SI PENJAGA KUBURAN
FATIMAH SI PENJAGA KUBURAN
Ade Maman Praman
Cuaca bukan main buruknya hari
itu. Di angkasa raya, awan mendung begitu tebal. Angin kencang bergemuruh,
menerjang pohon-pohon dan mendorong-dorong cabang-cabangnya sehingga
meliuk-liuk berputar ke kanan ke kiri bagai penari jaipong. Sehari penuh, hujan
bagai di curahkan dari langit. Genangan air hujan mengisi lubang-lubang jalan
bebatuan. Semua orang berlindung sambil bercengkrama di rumah masing-masing.
Keheningan menyelimuti Kampung
Kuburan, seakan mengiringi desah kesedihan seorang anak perempuan miskin yang
bernama Fatimah si Penjaga Kuburan. Air matanya berlelehan, hidungnya sembab
dengan ingus dan bajunya basah becucuran air hujan. Ia sedang berusaha keras
mendapatkan obat untuk neneknya yang sakit parah dan terbaring kaku diatas
tempat tidur yang sudah reyot.
Fatimah berlari dan terus berlari
sekuat tenaga, sampai akhirnya tampaklah sebuah rumah yang indah dan besar. Rumah
diatas bukit itu milik Pak Banu si Juragan Bungai Rampai. Sekelilingnya
pepohonan dengan beraneka rupa tanaman bunga melingkarinya. Alangkah kayanya
pemilik rumah itu! Fatimah berhenti didepanya. Ketika fatimah menuu pintu,
tampak seorang pelayan sedang berjaga disana. Fatimah bertanya pada pelayan
itu.
“pak, nenek saya sakit parah.
Boleh saya ketemu ?’’
Pelayan itu menatap Fatimah.
Pandangannya menyelusuri dari kaki sampai kapala lalu berkata, “ Tidak,tidak!
Pak Banu lagi tidur.
Sana,minta tolong sama yang
lain!” tolak si pelayan.
“Tolong, Pak! Sampaikan sebentar
pada Pak Banu.Saya mau minta tolong sama Pak Banu,Pinjam uang untuk beli obat
buat Nenek,” rajuk Fatimah sembari memegang erat tangan pelayan itu.
Tapi sia-sia....
Pak Banu kebetulan mendengarkan
suara-suara antara Fatimah dengan pelayannya, Ia membuka pintu dan menghampiri
Fatimah.
Fatimah amat gembira melihat Pak
Banu,lalu berseru, “Pak Banu yang baik, tolong saya. . .nenek saya sedang sakit
parah. Pinjami saya uang untuk beli obat. . .”
Pak Menatap anak kecil yang
berpakaian lusuh itu. Ia tersenyum dan memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya pelan-pelan. Terbayang kerugian yang akan dideritanya jika ia
meminjamkan uang kepada anak perempuan miskin yang mendongak penuh harap.
“Tidak! Hei anak kecil, cari saja
pinjaman ke Pak Broto, pedagang bakso dekat tepi sungai! Atau, minta sedekah ke
pelayan kuburan.Sudah, pergi sana!”
Pak Banu memalingkan muka dan
ngeloyor pergi,masuk ke dalam rumah.Sementara itu, si pelayan pura-pura menyapu
air yang menggenang di teras.
Fatimah menangis,bibirnya
bergetar penuh amarah. Ia pun berlari menjauhi rumah indah itu sambil
memejamkan mata. Pipinya basah oleh lelehan air mata. Ia terus barlari di smah
sepanjang jalan setapak sambil memanggil neneknya. Sampai akhirnya ia terjatuh
tersungkur ke tepi selokan kecil yang berlumpur.
Fatimah sakit hati pada perlakuan
Pak Banu. Ia menangis sesegukan. Kedua tanganya bergantian dipikulkan ke
lumpur, “Oh, Nenek!Tidak ada yang mau
menolongmu, Nek. Padahal begitu banyakyang telah engkau perbuat untuk Kampung
Kuburan ini.”
Ia teringat hari-hari sebelum neneknya
sakit. Ia selalu gembira menemani nenek berjualan kacang goreng dan kerupuk di
pintu masuk ke arah kampung kuburan. Mereka harus rela duduk di tanah menekuk
kaki semalam suntuk, Mengharapkan diantara orang yang lewat ada yang tertarik
membeli kacang goreng atau kerupuk. Mereka menahan kantuk dan dinginya malam.
Tanpa memikirkan kesehatannya, nenek sering melepaskan mantel usangnya untuk
menyelimuti sang cucu yang tidur-tiduran di pangkuan nenek.
Sambil menunggu pembeli, nenek
sering berkata penuh harap kepadanya, “Cucuku sayang! Hidup nenek mungkin nggak
lama lagi. Nenek ingin , Kamu jadi anak yang selalu menolong orang lain yang
memerlukan bantuanmu.” Dan sambil memebelai kepalanya, Nenek selalu
bersenandung memohon pada Allah SWT, “Ya Allah, tolonglah kami untuk selalu
mengingat-Mu, Mensyukuri nikmat-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan baik.”
Membayangkan itu semua, Fatimah
semakin menangis sesegukan. Tangannya erat mencengkeram lumpur yang ada di
selokan itu.
Tiba-tiba, samar-samar Fatimsh
mendengar ada suara yang berbisik di telinganya, “Hai Fatimah, kenapa menangis
di selokan?” tanyanya.
Fatimah menoleh ke arah suara
itu. Ooh, ternyata Rita anak Pak Banu si Juragan Bungai Rampai. Rambutnya dikucir dua, dihiasi pita biru serasi dengan
bajunya. Tanganya memegang payung yang penuh gambar bunga biru.Rita lalu
mendekati Fatimah,”Ada apa sih, kamu sedang sedih, ya?”tanya Rita.
Fatimah berdiri, matanya melotot
ke arah Rita. Tanganya mengepal kuat dan mulutnya terkatup rapat penuh
kebencian.
Rita menundukkan kepala, ngeri
melihat tatapan Fatimah.
“Aku menangis karena Pak Banu,
ayahmu itu,tak mau menolong meminjamkan uang untuk memebeli obat bagi nenekku
yang sakit parah!” kata Fatimah dengan parah.
Fatimah berhenti sejenak. Tak
lama kemudian ia kembali menangis.
Rita termenung mendengarnya,
terkejut. Alangkah teganya Ayah bersikap seperti itu! Tak terasa, air mata Rita
menetes.. . . .Ia kasihan pada Fatimah, sekaligus marah pada Ayahnya.
“jangan menangis lagi, ya!”ujar
Rita lirih sambil memegang pundak Fatimah.
“Ah, tidak pantas aku berkata
kasar padamu, Rita. Kamu kan tidak bersalah. Maafkan ucapanku tadi,” ujar
Fatimah sambil memeluk Rita.
“Tidak Fatimah! Aku pun kecewa
pada Ayah. Seharusnya Ayah membantumu. Aku. . .aku harus menyadarkan
Ayah,”jawab Rita. Ia menghela nafas dalam-dalam. Setelah diam sejenak,tiba-tiba
Rita berkata,”Lepaskan baju dan syalmu.Sandalmu juga,Ayo cepat!”
Fatimah kaget sekali, ia mundur
selangkah. “Apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya heran.
“Ayo, cepat lepas! Nanti aku
ceritakan rencanaku,” pinta Rita penuh harap.
Fatimah tak berani menolak
keinginan Rita, karena ia pun ingin tahu apa yang akan di lakukan Rita. Sekejap
saja Fatimah sudah melepaskan pakaian,syal,dan sandalnya. Ia berdiri dengan
hanya mengenakan kaos dan rok dalam.Rita pun melepaskan baju, pita dan
sandalnya.Lalu diberikan kepada Fatimah.
“Nah. . . sekarang, ayo
ceritakan, apa sebenarnya rencanamu? Kok kita harus berganti pakaian?” desak
Fatimah.
“Begini. . . mmm. . . sini, aku
bisikin!” Rita pun menceritakan rencananya pada Fatimah. Sesekali, Fatimah
mengangguk-angguk tanda mengerti.
Sambil berpegangan tangan, kedua
anak kecil itu berlari menuju rumah Pak Banu. Setelah sampai, sesuai dengan
rencana Rita,Fatimah segera bersembunyi di balik pohon mangga. Sementara itu Rita
terus menuju pintu.Tok-tok-tok. . . ia mengetuk pintu tiga kali.
“Assalamu’alaikum. . . !” Rita
mengucapkan salam.
Sejenak kemudian pintu terbuka,
dan keluarlah Pak Banusi Juragan Bunga Rampai. Pak Banu menatap jijik anak
kecil berpakaian lusuh penuh lumpur di depannya. Anak itu menundukkan kepalanya
yang tertutup syal tua.
“Hei, kamu lagi! Pergi, pergi
dari sini! Baru saja pelayanku membersihkan lantai ini, sekarang sudah kau
k0tori lagi, anak gembel!!” teriak Pak Banu.
“Tapi Pak. . . . tolonglah saya,
saya Cuma mau pinjam uang untuk membeli obat buat nenek saya. . . . Ia sakit parah,Pak. Tolong,Pak. . . .saya
berjanji akan mengembalikanya,”ucap anak kecil itu memelas.
“Huh, enak benar!sudah ku bilang,
pinjam pada orang lain! Di sini bukan tempat peminjaman uang!” jawab Pak banu
sambil mendorong tubuh Rita.
Gedebug! Rita jatuh tersungkur ke
lantai, “ Aduh . . . .!” teriaknya
kesakitan. Rita menangis sedih, hatinya perih.
“Ayah. . . .ini aku. . . Rita!
Ayah tega sekali berbuat seperti itu!” ucap Rita diantara sendu-sendanya.
Pak Banu terperangah kaget. Ia
hampir tak parcaya bahwa anak kecil yang berpakaian lusuh dan tergeletak di
lantai itu adalah Rita, buah hati yang sangat ia sayangi. Ya, sejak istrinya
meninggal, Ritalah satu-satunya yang menjadi curahan kasih sayng Pak Banu.
“Oh.. . . . kamu. . . . Rita???
Kenapa berpakaian gembel seperti ini,Nak?” tanya Pak Banu, sambil segera
memeluk Rita. Ia cemas sekali. “Rita benci Ayah! Katanya Ayah sayang sama Rita.
. . Kalau Ayah sayang Rita , seharusnya Ayah juga menyayangi teman-teman
Rita.Tapi nyatanya, Ayah malah mengusir Fatimah teman Rita yang yatim piatu, yang datang ,meminta
tolong pada Ayah. Padahal Ia hanya ingin
pinjam uang untuk menyelamatkan neneknya yang sedang sakit. . . .Rita malu pada kelakuan Ayah! Fatimah itu
anak baik, Yah!” teriaknya sambil menangis sesegukan.
Jantung Pak Banu bergetar.
Pandanganya nanar menatap buah hatinya. Kata-kata yang dilontarkan Rita
membuatnya trenyuh . Sejenak Ia larut dalam pikiranya sendiri. . . . dan
akhirnya ia sadar, selama ini ia sering menampilkan kesombongan. Kesombongan
itulah yang membuatnya banyak warga kampung Kuburan menjauhinya. . . .
Pak Banu menatap wajah anaknya.
“Anakku, maafkan Ayah. . . . .Ayah bersalah padamu dan Fatimah. Maafkan Ayah,
Nak,” ucapnya pelan, penuh pnyesalan.
Betapa bahagianya Rita mendengar
mendengar kata-kata Ayahnya. Bahkan tak terasa air matanya membasahi baju Ayah,
karena rasa haru.
Setelah keadaan tenang, Pak Banu
bertanya, “ Di manakah Fatimah? Ayah ingin bertemu.”
Rita buru-buru menemui Fatimah
yang bersembunyi di balik pohon mangga, dengan wajah berseri-seri.
“Eh, Fatimah! Ayahku ingin
bertemu kamu!”
Dengan lunglai Fatimah keluar dari balik pohon
mangga. Ia masih berpikiran Pak Banu pasti tetap tak mau menolongnya. Pak Banu
mencoba mendekati Fatimah sambil barkata tersendat-sendat, “Fatimah, maafkan
kesalahan Bapak. Sekarang kamu jangan sedih, biarlah. . . Bapak yang akan
mengurus nenekmu yang sedang sakit itu. Insya Allah, nenekmu akan sembuh dari
sakitnya.”
Ah,senang sekali Fatimah! Matanya
kini berbinar bahagia. Di benaknya, terbayang nenek yang sakit, akan
berangsur-angsur sembuh. . . .
“Terima kasih, Pak,” kata Fatimah
gembira.
Akhirnya, hanya denganr perhmat
dan pertolongan Allah, nenek dapat di selamatkan. Alhamdulilah nenekpun sembuh
dan sehat seperti sediakala.
Betapa bahagianya Fatimah si
Penjaga Kuburan dan Rita. Kedua insan yang bersahabat itu mengucapkan syukur
kepada Allah SWT.